Sebuah Catatan
Sebagai warga Indonesia yang baik dan tabah, saya menghormati UUD Pasal 28 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat baik lisan ataupun tulisan, di jamin oleh Undang undang”.
Saya memegah teguh peraturan itu, meskipun berada di belahan dunia yang jauh.
Sebetulnya, dalam hati pasal tersebut amat bertentangan denganku saat ini, Ketika kudapati para tetamu berdatangan, sewaktu mereka berkumpul mengeluarkan pikiran lisan, hingga melupakan waktu dan barang bawaan. Betapa ingin kububarkan serikat itu. Barangkali pasal tersebut di buat cukup tergesa gesa sehingga kian hari makin kelihatan tidak relavan dalam pengamalanku.
Sabtu lalu, seorang batita ( bawah tiga tahun) di giring oleh tetangga sebelah rumah kembali ke markas kami yang seluas empat ribu meter ini. Tak habis pikir juga diriku kenapa ada orang tua ( baca : datang berpasangan, membawa dua anak laki laki ) memerdekakan anak di bawah umur mengambil keputusan sendiri. Untunglah tidak terjadi insiden apa apa. Ini tentang di bungsu.
Kenakalan yang di sebar si sulung ( belum genap lima tahun ) juga cukup membuat takjub sang pemilik tempat. Dari membuka tutup kulkas, bolak balik cuci tangan, berjingkrak di atas kap mobil, merobek kardus, ah…banyak..terlalu banyak, terlalu panjang daftar di sebutkan.
Sementara kedua orang tua terus asyik berkumpul, yang lelaki memegang segelas anggur merah, berdiri anggun bersosialisasi tanpa melirik kiri kanan, yang perempuan duduk di meja, sebungkus rokok dan sebotol bier manjadi teman cumbu, entah ceceran pikiran apa yang di bagikan ke para tamu. Begitu riang dan gembira. Kutangkap pula ada banyak gelak pecah serentak.
Malampun tiba, belum ada tanda tanda barisan bubar jalan, mendengar suara si bungsu menanggis meraung raung di sekap dalam kamar tanpa cahaya. Terdorong rasa iba, saya berinisiaf menuntaskan makan lebih cepat dan menjaganya. Namun saya telah mengambil reflek yang salah, lebih dari tiga jam, tak sekalipun si ayahbunda datang menjenguk. Pelajaran yg ku petik, itulah cara orang tua sini meninabobokan si kecil.
*******
Terkenang senandung samar bunda, wibawa suara ayah menghantar donggeng dan belai sayang jemari mereka menghantar kami bersaudara ke peraduan. Hingga nasehat dan petuah yang ditularkan itu, menempa kami menjadi anak anak manis, dimanapun kami berpijak.
Sambil terus membujuk si kecil, yang kehabisan tenaga jerit, agar terlelap dipangkuanku, ku hela napas panjang, ku hempas segenap beban, kupanjatkan kidung pujian. Aneh, hatiku tersayat, sesaat kemudian, saya mulai menanggis..