Suhu udara nol derajat, bermodalkan mantal tebal, celana berlapis lapis, sepatu boot selutut lengkap dengan sarung tangan , kereta dorong, serta gemetaran, di sore yang berkabut, saya baru saja melangkah keluar dari Supermarché Casino Géant Fourchon. Bbbrrrr. diiinngiiinnn. Sepi.
Waktu hendak menuju area parkir, saya melintasi seseorang yang dengan giat membuang kasar, butir butir kristal kecil di sepanjang pelataran pintu masuk menuju supermarket. Aneh. Pikirku. Jangan jangan manusia ini tidak waras, atau mungkin juga mabok, daripada nanti saya disamperin atau malah di todong, buru buru kudorong troly ke mobil dan memasukkan seluruh belanjaan tanpa klarifiksasi lagi.. Sebelnya lagi, tadi saya lupa membawa kantong turun dari mobil untuk menaruh belanjaan.
Perlu saya informasikan bahwa belanja ke supermarket sini sungguh menyedihkan, kantong plastic gratis sudah di hapus. Jadi kita perlu antisipati membawa kantong sendiri, bila tidak ingin membayar kantong tambahan berkisar antara satu sampai tiga euro, tergantung kekuatan, model dan jenis plastiknya. Misalnya pembelanjaan meliputi bahan bahan beku, kantong yang di pakai berlapis udara dan aluminium sehingga isinya tidak cepat mencair. Juga, troly yang digunakan tidak bisa di tinggal begitu saja sehabis pemindahan belanjaan, harus di kembalikan ketempatnya karena sebelum mengambil trolly, saya harus memasukkan koin satu euro dan koin itu bisa di ambil kembali bila kereta dorong dikaitkan lagi pada tempat semula.
Saya tidak terbiasa berbelanja sendiri meskipun jarak antara supermarket ke tempatku hanya berkisar kurang lebih dua kilometer. Biasanya kami selalu berbondong bondong bila hendak berbelanja, supaya bisa saling membantu, juga buat menghemat bensin dan waktu. Tapi hari ini saya membutuhkan bahan makanan yang tidak bisa ditunda lagi, maka berangkatlah saya sendiri , sambil terus berdoa semoga tidak ada halangan di jalan apalagi sampai di tilang.
Sesampai di rumah, sambil mengeluarkan belanjaan saya berceloteh dengan teman di sini tentang kejadian di depan pintu gerbang supermarket yang menurutku tidak biasa..hmmm...
Saya mulai tahu ada yang kurang beres, ketika senyum di kulum itu mendadak meledak sebelum memberi penjelasan…ya..antara menahan geli dan merespon kepolosanku, yang meski sudah minum dan makan ala Perancis 452 hari, belum pula menguasai medan.
Maka bertambahlah pengalamanku setelah jadi bahan lelucon sejenak, terima kasih Tuhan, engkau telah membekali ilmu lebih untukku meskipun didahului kekonyolan. Olala… Jadi orang itu waras, dalam keadaan sadar menabur garam kasar untuk menetralisir salju yang diperkirakan akan turun besok pagi secara besar besaran.
Perancis Selatan adalah The Best Place in France, tempat dimana matahari selalu muncul dengan suhu yang lebih baik meskipun dalam satu negara, tempat dimana banyak pujangga melantunkan syair dan menorehkan lukisan, juga tempat paling ideal untuk berbagai sayur dan tumbuhan menyemai. Begitupun tempat dimana pertaruhan sengit para bullfighter berlangsung, semuanya komplit mengbungkus selatan menjadi satu tempat yang fenomenal. Keindahan, hiburan dan kekerasan artistic dalam seni membunuh kerbau, erat mewarnai hari hariku.
Menurut pakar meteologi, untuk pertama kali di selatan, dalam kurun jeda lima tahun, setelah setiap saat melihat salju turun malu malu dan menepis di sela sela jendela kemudian lenyap tanpa kesan yang berarti, maka pagi tadi kala saya terjaga, masih dari sela jendela, saya diijinkan alam untuk mengagumi satu pemandangan yang menakjubkan.
Hamparan permadani putih ciptaan semesta itu memukauku. Dalam diam kunikmati dan kuamati semuanya, seluruh tempat bagai di lapis kapas putih, hanya kolam renang yang masih menyisakan warna butek karena dihadiahkan angin daun daun dari segala penjuru taman.
Bukit bunga buatan,
arena bermain bola besi,
hamparan tanah hijau yang pepohonannya baru mulai di tebang demi melengkapi ambisi,(baca Renungan),
Grand Pins, maskot leclosdelisle,
mobil yang selalu kupakai berlalu lalang,
semuanya tahkluk dalam eloknya putih.
Dalam kesempatan yang langka ini, berbekal payung sederhana,
kembali saya meraih kamera, jepret sana, jepret sini, meski hasilnya kurang begitu cemerlang, terhalang uap hawa dingin yang begitu menusuk, namun saya terus mengabadikan peristiwa yang cuma sekali dalam lima tahunan di tempat ini, berasa bangga meninggalkan jejak kaki di pelataran.
Sempat teringat olehku, butir butir kristal yang ditabur di depan supermarket, berapa banyak garam yang terbuang ? Bukankah melawan kekuatan alam adalah pekerjaan yang sia sia.