Tuesday, April 25, 2006

Hikmah




Sekuntum senyum, akhirnya mengembang jua, setelah hampir seperlima warsa saya merindukannya. Satu penantian berumur setara dengan kelok perjalananku di sini. Sebetulnya saya pernah mendapatkannya kala pertama singgah, dan perlahan terhapus oleh beberapa peristiwa.


Saya ingat, sua pertama kita, engkau datang sekeluarga, mempersembahkan dua belas tangkai tulip jingga, lengkap dengan daun dan seulas bibir merekah. Dalam remang engkau tampak jelita. Engkau putri tunggal pemilik tempat ini, di malam pertemuan itu kita sempat berbincang selayaknya rembulan mencumbui bintang bintang.

Seringnya engkau kemari, dan ulahku memanjakan buah hatimulah yang menyulut luka itu. Dalam tradisi ke Indonesianku, menggendong dan memberi makan adalah sebentuk ungkapan sayang, dan rupanya engkau kurang berkenan. Pernah tertangkap tangan, ketika hampir kusuapkan kudapan, engkau menarik si bungsu dengan kasar, membuatnya mengiba sedemikian rupa, kemudian terlemas dalam lelap.

Masih menghangat dalam ingatku, engkau begitu jengkel, di suatu siang di hari ulang tahun seorang tamu, si kecil meronta turun dari bangku dan lari kepangkuanku. Barangkali relung keibuanmu semakin tercabik, mendapati permatamu mengalungkan hatinya juga kepadaku.

Bagiku, sebagaimana kasih yang kuserap dari ayahbundaku, seorang anak perlu didampingi dengan empati, tajam nalurinya adalah seukuran orang dewasa, apabila tindak kasar pernah di kecapnya, butuh beberapa waktu buat menghapusnya. Ia adalah jiwa yang utuh. Jangan berkali mengoresnya dengan sayatan, biarkanlah ia tumbuh dalam pahatan sayang, karena dunia kanak kanak adalah dunia cinta dan pembelajaran.

Tapi waktu jualah kemudian mampu mempertumpul sinis tatapanmu. Engkau keseleo leher, tak leluasa menoleh. Sementara suamimu harus dinas. Atas saran orangtuamu, bocah berusia dua tahun itu di bawa kemari tiap pagi. Berberapa hari kami bergantian mengasuhnya, rona bahagia di wajah munggilnya begitu jelas mengurat, dia sepertinya berat berpisah ketika malam, kala sang ayah menjemputnya pulang.

Hari ini lukamu mulai pulih, mungkin hatimu juga, sepasang sinar bola matamu, sorotnya kutangkap berangsur ramah kepadaku…

*******************************************************************

Thursday, April 20, 2006

Dia



Saya melangkah perlahan meninggalkan halaman beberapa ratus meter dari tempatku di iringi lambaian. Pandanganku meneduh bersama pohon sejenis akasia yang banyak memagari kiri kanan jalan. Beberapa kelompok pohon lain ikut membaur. Kuperhatikan daun daun mulai merekah, sepakat memanyungi jalan beraspal yang kulalui kala pulang.


Teringat jelas obralan santai yang kami jalin, selepas perjamuan makan siang bersahaja.
Selalu saja begitu. Saya sangat bersemangat menghambur segala celoteh. Ada ada aja yang jadi topik bahasan kami, sambung menyambung. Kalaupun ada jeda, itu karena kami harus mengambil hela, atau menyeruput minum, demi untuk memperlancar vocal kami.

Tidak hanya duduk semata, kamipun bangkit bergandengan, menyisir sisi kebun hingga ke hilirnya, memanjakan mata memandang aneka bunga, memanen buah strawberry dan memetik sayuran, untuk dijadikan teman santap dan lauk makan malam. Tak ada yang tergesa kami lakukan, hingga sorepun menjelang.

Lantai bermosaik kotak kotak itu hampir kehilangan warna, entah berapa banyak jejak langkah sudah dibersihkan, tempat yang selalu hangat menerima pijakkan. Sore ini kedua telapak kaki harus bersalam pisah sementara . Meskipun raga sungguh masih terpenjara, belum puas diri ini berendam di sungai pengetahuan, belum cukup napas ini, menyedot lebih dalam hawa arif si empunya tatapan.

Dia, seorang wanita tujuh puluh delapan tahun yang tidak kelihatah renta.
Padanya saya mengisap sari madu kehidupan, di pelukannya kudapati diriku masih seorang bocah, lewat belaiannya kuraup getar ketulusan cinta

Dia seorang wanita perkasa yang enggan di sebutkan nama, sepanjang masa mudanya dilewati dengan mengisi misi kemanusian. Pernah selama dua puluh tahun memperingan beban kaum papa di kutub utara. Sekembalinya di tanah kelahiran, berjuang mengisi undang undang hak pekerja Perancis. Dalam menjalani sisa hari tua, masih aktif sebagai senat penasehat di Ammnesty International.

Dia terlahir membawa pelita, dengan berwibawa, beliau mampu menghalau sebuah antenna provider swasta yang akan ditancapkan di areal permukiman ini. Sejumlah euro mengiurkan di tolak mentah mentah, mata dan jiwa arifnya berpendapat , gelombang frekwensi bersignal global itu bisa berdampak buruk bagi kesehatan jangka panjang penduduk sekitar.

Dia kupanggil Marraine, si bijak yang tak kenal lelah. Kartini berumur panjang yang tersohor di hati banyak orang, lewat tunjungan yang cukup dari pemerintah Perancis, di usia yang kian uzur, beliau masih giat berjuang.

Wahai,
Mampukah bathin ini bercermin sebening sinar matanya
Bisakah hati ini mewarisi harum seperti milikknya.
Sanggupkah raga ini berkiprah seagung kharismanya

********************
Selamat hari Kartini buat seluruh wanita Indonesia

**********************

Tuesday, April 18, 2006

Tanggapan atas Posting Berbicara dengan hati



Rekan rekanku se internet dan se dunia maya….

Terima kasih buat tanggapan mengharukan atas tajukku Berbicara dengan hati. Postingan itu ku susun dengan sadar tanpa ancaman dari pihak manapun, dalam keadaan sehat meskipun mata memakai kontak lensa. Perlu saya jelaskan pemakaian lensa kontak memang mengindikasikan saya kurang sempurna dalam penglihatan tetapi tergolong menarik dalam penampilan.

Baiklah, beberapa responden, sebut saja Mbak Miniez yang punya Ten family , Mas Bagus dalam perjalanan mencari muara, Mbak Nana yan ingin menjadi kupu kupu, Misisiwa seorang mahasiswa, Jeng Ria bersama angin kembara dan, Meli Moi dari rimba anak bolot, mengkomentari bahwa diam itu emas, berbicara dapat perak, berisik memperoleh perunggu, dan kalau sampai membuat gaduh itu berarti tidak masuk nominasi. Begitulah kira kira masukannya. Mas Bagus di akhir wejangannya juga menyarankan supaya bibir dan hati indahku ini bisa menjadi penyeimbang…ai..ai..tauuuu aja deh.

Mbak Dian, pemilik love is stronger than justice, wanita paling rajin posting versi Senandung Mimosa, lebih tertarik memberi nilai pada bunga dan bertanya siapa gerangan yang menanam, ( Sisca kadang ambil andil mbakkk ). Sebagai seorang yang berjiwa Pancasila dan mengerti UUD45, saya menghargai kebebasan berpendapat dan mengeluarkan suara itu.

Irvanapun mewakili keluarganya ( Irvana family ) dan memberi petunjuk agar menjadi pendengar yang baik, tahu kapan diam dan bicara..serta tak lupa sedikit merendahkan diri dengan mengatakan tidak bisa berpuisi…hayoo..buktinya bisa dan bagus.

Hendri Bun yang punya slogan semangat kebebasan ( freedom Spirit ) mengawali celotehnya dengan berkata ‘ Bila kekeluan harus dilakukan,mulailah instropeksi, mengaca ke sekeliling, hendaknya sepatah kata mampu memberi makna bagi yang mendengarnya. Olala..Puisinya begitu runtun, terarah, bijaksana, membuat Iin, si A la Folie, pas du tout terpesona.

Tak urung Beverly dari dunianya yang retak keluar melantunkan sebait sajak diam, ia berturur sedang mengenang, mencintai, merindui dan menanti seseorang. Barangkali si sambel botol..( Beve, katakan terus terang aja..mumpung hari Kartini, anggap ini sebagai bentuk emansipasi )

Mas Iwan Suryadi sempat curhat, setuju dengan sisca untuk menfilter ucapan, sebelum di lontarkan, melengkapinya dengan pepatah Lidahmu adalah pedangmu, juga berpesan bila saya ikut lomba debat, jangan segan segan berorasi demi sebuah medali. Tentu curhat nya akan selalu kuingat.

"Sesuatu tak harus selalu dikemukakan", begitulah Jeng Gita dari ruang transformasi memberi solusi. Tetapi kemudian dibantah oleh Thuns, bapak si junior dari web stupid ini malah lantang mengajurkan supaya saya lebih banyak bicara, selagi tidak di tangkap.
Aiyeyey bisa aja deh pakk..

Lain pula Kakak Siwoer, si mata air yang punya hubungan gelap dengan cabe merah, salah duga, di kira sisca naksir ama dia….duh Gusti…berilah jodoh yang tepat dan sadarkanlah beliau dari kekhilafan ini.

Di Tutup oleh Mas Unwinged dengan wejangan sebagai berikut :
Bermain kata atau menyembunyikannya keduanya diperlukan.
Tergantung saatnya, bisa membawa sesuatu yang kita tidak pernah tahu.
Jika disakiti, berikanlah peringatan.
Jika tersakiti, lanjut jalan dan terima sebagai pelajaran.
Jika menyakiti, harapkan hati untuk sejumput maaf.
Berhati-hati dalam bicara, itu perlu dan mutlak.

Apapun bentuk tulisan, wejangan, guyonan, masukkan, yang telah kalian rangkai, bersama kalianlah berbicara selalu punya arti, dan posting ini setulus hati saya dedikasikan kepada pengunjung setia Senandung Mimosa, yang aktif menyapa di Post comment ,di Shout Box, ataupun sekedar mampir baca. Bersama kalianlah saya tidak lagi terasing di dunia luar. Saya merasa ada kesatuan yang mengikat kita sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Saya menyadari sering menulis dengan kosa kata yang kurang lazim dipergunakan. Sejujurnya inilah sumbangsih saya kepada tumpah darah kita meskipun saya harus melangkah jauh demi sebuah masa depan. Penghargaan juga saya berikan kepada blogger yang memungkinkan kita menjalin komunikasi ini. Sekali lagi, terima kasih, bersatu kita teguh, bercerai talak satu, ooppss maksudnya biar ada kesempatan rukun kembali.

*******************
Maaf, saya hanya membubuhkan warna, tidak link ke masing2 blog .
**********************

Monday, April 17, 2006

Bicara dengan hati




"Ada apa ?", tanyaku menjalin simpatik pada seorang tamu yang kulihat berancang ancang menjauhi kerumunan.
Ia hanya menggelang. Semenit kemudian saya meneropongnya sedang tersedu di taman. Saya menduga telah terjadi luka ketika diantara komunitas itu berbagi kata.

Pernahkah terlintas, terkadang lidah kita terlalu lentur, saking elastisnya, membuat si pita suara lantang menggema. Apa yang dikeluarkan menjadi tidak terukur, filter yang seyogyanya menetralisir suasana, malah mendatangkan bara.

Si pendengar terpacu mengelolah irama atas efek suara itu, bagai komposer merombak syair melodi, sayangnya, ritme terserap jadi serapah siap ledak.

Goresan belati sering mendatangkan tetes darah, itu diketahui cederanya, bisa diantisipasi dengan perban tambah obat merah. Tapi nyeri bathin, luka yang tidak kelihatan, apa obatnya ? bagaimana terapinya ? sungguhkah dengan berlalunya waktu, akan hilang lara itu?

Menurutku karam hati tidak pernah sungguh sungguh lenyap, kita berumpama waktu mampu menghapusnya, yang benar adalah kadang kita lengah, andai ada pemicu , maka meradanglah sembilu kalbu itu, begitu seterusnya.

Dalam hari hari berpacu menerobos orbit, berkali saya berpikir sebelum berujar,
Agar saya bukanlah sumber malapetaka dari lidahku, atau pembawa kesal bagi yang menyimakku. Supaya setiap jengkal bunyi yang kugemakan sanggup menjadi pelita, apabila obor yang dirindui tak kunjung tiba .

Biar sekelumit kalimat yang kutata, di rindui kharismanya, di restui kaidahnya
Biar suara yang terhembus, mengkristal sejuknya,
Atau kata kata yang bergaung , membekas selaksa cahaya

Ahhh…barangkali kelewat berhati hati, saya jadi jarang berbicara akhir akhir ini.

Friday, April 14, 2006

Sepucuk Monolog





Ku awali illustrasi ini dengan mengadopsi musim semi
Musim yang mengundang seribu kerinduan .
Hijau rumput bersaput gradasi aneka kembang
Membius tatapanku di senyap perjalanan


Kukerat kontak mata agar utuh menyimpan pandang.
Sulit sekali melukiskan keelokkan yang kusetarakan sebagai nirwana
Barangkali pada musim semi,
Surga mengagendakan penghuninya berpresentasi.
Menyewa alam bertanah kosong sebagai ajang unjuk aksi .

Berkendara pelangi jurusan langit bumi,
Bidadara bidadari turun berpesiar
Mendirikan kemping bersketsa cakrawala
Sambil membawa misi memperindah dunia

Menjelma bidadara bak permadani hijau raksasa,
Pelangi berpencar pencar
Biasnya mengirim warna samar rupa para dewi masuk ke tubuh bunga bunga.
Menyulap gigil ladang tandus, terbebas dari gersang
Bertabur pesona seketika.

Beralih ke sudut taman bersekat kolam, tak jauh dari pandanganku
Dewa dewi menumpang semadi pada jejer pepohonan
Mengundang pasangan muda mudi bercengkrama mencocokan hati.
Konon ada kekuatan gaib kasat merangkum si sejoli,
Itulah mengapa sering dalam romantika melodi
Kita mendengar ranting bisu tuli, naik tahta menjadi saksi

**************************************

Kucermati berbilang pernik peristiwa,
tidak seperti hari hari lalu,
Selaput kornea ini jauh benderang,
Sangat mungkin suka duka keping elegi telah memolesnya.

Di taman sebelah timur berbatas bukit bunga
Kutengadahkan doa pada langit senja
Langsung berbincang dengan sang pencipta
Lembayung berangsur temeram
Berbekal pena usang yang hampir tak bertinta.
Kutorehkan senyap perjalanan meraih cita
Mensyukuri rencana illahi
Dengan sepucuk monolog


**************************************

Sunday, April 09, 2006

Dalam Sepekan


Paket jenuh beraktivitas mewarnai liku kehidupanku sepekan ini. Di awali peringatan ulang tahun seorang tamu mengusung tiga musisi dikomando Canut Reyes the GipsyKing .Perkusi ala negeri lazuardi itu baru usai sekitar pukul empat subuh , sungguhpun terlalu dini untuk ditasbihkan menjadi fajar . Berturut turut beberapa seminar, dilanjutkan makan siang dan malam, menyebabkan anjlok staminaku. merontokkan seluruh sendi pertahananku.

Barusan tiba juga saat berintropeksi diri, team kecil kami mengerumuni perapian, ibarat memangku dosa berat, tertawan dalam ego dan ucap, demi semata memanggul tugas, kami saling meminta maaf ,memberi ingat satu sama lain, berangkulan, berjalin tangan, menetralisir prahara dalam sepekan.

Apabila keringat yang luruh belum sepadan dengan hasil yang diminta.
Apabila buah yang ranum tidak selezat silau pandang mata.
Apabila banyak lisan mengundang gundah,
Apabila bibir tak elok berkata,
Apabila ada tingkah menuntun alpa,
Kami berikrar membersihkan debu hati …lebur bersama bara api di tungku

Kabut gulita berkolaborasi dengan beberapa katak mendengungkan balada, seorang wanita sederhana dengan segunung maaf dan maklum, menghempas lelah raga pada sebuah dipan . Jerami berbasis tehnologi menyangga runtuh seluruh lekuk , kepalanya terkapar nikmat mengendus bantal….

Bagai sehelai daun mendekap hangat tanah
Bagai gelombang pasang bertemu bibir pantai
Bagai kelana sesat bertemu morse di tikungan.

Betapa tentram meringkuk tubuh di binar sunyi.....esok..kesibukan bertubi adalah wacana lain..derita pekan ini…biarlah cukup sampai disini…


**************************************************
Penanggalan di layar pekan lalu menunjuk angka tujuh, dalam jemu berkutat,
datanglah berita sukacita, di sebuah rumah bersalin tanah air, sekitar pukul 07.45,
seorang bayi lelaki berbobot tiga kilo,
dengan panjang empat puluh delapan centimeter telah membuka mata,
menyemarakkan dunia.

sedikit sisipan ini bersalut doa,

semoga penghuni baru dan nahkodanya,

di tengah rasa gembira memetik hasil bunga cinta,

mengingat pesanku..." isi dan bekali si kecil...

menempanya penuh kasih dan budi....

agar menjadi kebanggaan di kemudian hari".



*********************************************

Tuesday, April 04, 2006

Senja Di Awal Musim Semi

Intercom di mejaku menjerit tiga kali, ini adalah hal yang biasa dan sudah kuanggap lumrah. Sesaat kemudian hatiku bergemuruh…ah..ada surat pribadi untukku…seseorang telah mengirim surat untukku…surat dari jauh…dari siapakah itu ???

Aneh, itulah yang kurasa saat itu, di saat email merajarela, tanpa perangko dan sampai seketika, ada yang sengaja mengirim snail mail khusus untukku, pasti sangat istimewa.

Ternyata nona inilah pengirim kejutan itu, dari bibirku spontan mengalun kidung puji pujian, mengiringi bahagia hati mengeja tulisan tangan yang begitu halus dan indah. Hanya salam dan doa ,kabar dan gurau. Tentang kerinduan dan harapan, tentang hal hal sederhana.

Tetapi hal hal sederhana itulah yang kemudian tiada ternilai harganya. Atas seijin yang empunya tulisan, saya mempublikasikannya di sini.


Mampir di pelukkanku surat bersampul biru, di satu senja ketika musim semi baru saja berkuasa. Kubuka ,kubaca, kuulangi, kuteliti dengan seksama. Huruf demi huruf.... Kata demi kata.... Kalimat demi kalimat.... mencari makna , akhirnya kutemui arti persahabatan terangkum seluruhnya disana. Terima kasih Beverly

Sunday, April 02, 2006

Persimpangan


Dalam kehidupan, kerap kita didera oleh berjenis jenis keraguan, antara berbelok, lurus ke depan ataupun memutar balik haluan. Titik kesadaranpun memberi cela, terkesan ikut mempermainkan ragu itu sendiri. Akhirnya yang tadinya hanya sebuah rasa, lalu bersalin rupa, mengikis arti kata logika.

Begitupun diriku bergulat melawan sisi hati, sewaktu tidak kujumpai keselarasan. Kudapati titik rawan perasaan terhentak mencair, lantas tanpa malu menentang. Antara terbawa arus dan tenggelam atau berdiri tegak dan bertahan.

Permainan perasaan sudah di mulai jauh hari, kemudian berangsur merona, tak kala kuambil keputusan menarik diri. Pertama dikarenakan bentuk penyesuaian, kedua untuk menjawab ketidaktahuan, ketiga karena mempertimbangkannya sebagai bahan pembelajaran.

Kuanggap saja penyesuaian itu salah, bila di setiap waktu senggangku dalam setahun belakangan, sering kugunakan berjalan jalan, mengikuti kata hati orang lain, turut ambil bagian hura hura menguras kantong, memakai alasan pertemanan sebagai pembenaran, menghabiskan sejumah tenaga, serta berlomba mempermainkan waktu, mengharap pusaran detik yang saya hamburkan, memaafkan ketidakberdayaanku menolak.

Alih alih ingin berbaur malah membuat saya menderita, pasalnya, saya cenderung lebih suka menyendiri dan tenang, tetapi hidup di negara orang dengan culture yang berbeda memaksaku bermetamorfosa mengikuti pola dimana bumi di injak disana langit dijunjung.

Sebelum saya terendam dalam masalah yang lebih pelik, sebelum saya menghamburkan lebih banyak energi, ada baiknya saya kembali ke selera awal. Ya…tadi untuk yang kesekian kali, saya menolak berpartisipasi atas kunjungan yang kuanggap sudah terlalu sering dan tidak berfaedah bagiku…...bagi yang mengajakku, saya adalah teman jalan yang handal ..tapi bagi diriku yang terajak…ini adalah sebuah siksaan menunggu mereka berbincang, menunggu mereka mengakhiri debat demi debat tanpa kesimpulan.

Memang benar ragaku ada disana, tetapi jiwaku terpenjara pada sebuah ruang dengan alunan musik lembut, pandangan terfokus pada ragam tajuk dilayar, memandikan pikiran dengan percikan informasi, bersenda gurau menyusun aksara, membalas canda sahabat sahabat antah berantah, kuraih dunia yg lebih hangat justru bersama mereka.

Kudapati persimpangan tak lagi membelah diri, tidak pula ada ragu terpatri, keheninganpun menyerahkan diri, di layar ini, di tempat biasa saya menyenandungkan resah hati, ya…...disinilah... serasa mahkota cahaya memancar lebih berkilau...